JAKARTA, ANYARNEWS.COM – Partai Politik di Indonesia saat ini dinilai masih kesulitan dalam rangka mengimplementasikan tujuan bernegara seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Bahkan proses demokrasi yang terjadi di Partai Politik terjebak dalam praktik oligarki dan konglomerasi.
Demikian antara lain pandangan yang mengemuka dalam diskusi virtual yang diselengarakan oleh DPP Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK) bertemakan “Ngabuburit Asik Diskusi Bareng DPP PGK: Evaluasi Kritis Perkembangan Partai Politik Era Demokratisasi di Indonesia” di Jakarta, Minggu (17/05/2020).
Dalam diskusi menggunakan aplikasi Zoom tersebut turut hadir sebagai narasumber yaitu Chusnul Mar’iyah (Dosen Ilmu Politik FISIP UI dan Direktur CEPP UI), Haryatmoko (Ahli Filsafat Politik dan Dosen Pascasarjana PTIK, dan Chandra Tirta (Politisi). Diskusi ini dipandu oleh Muhtadin Sabili.
Menurut Chusnul Mar’iyah, terdapat sejumlah problem yang membuat Partai Politik kesulitan mengimplementasikan tujuan bernegara yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Problem pertama dimulai dari aturan perundang-undangan yang mengharuskan Partai Politik harus punya 100 persen kepengurusan di tingkat provinsi dan 75 persen di Kabupaten/Kota. Aturan ini berkonsekuensi pada timbulnya biaya tinggi (high cost) dalam membentuk partai.
“Ini problemnya, partai politik tidak boleh punya bisnis jadi duitnya dari bandar, itulah yang saya sebut konglomerasi partai politik,” kata Chusnul Mar’iyah.
Keadaan ini, menurut Chusnul, membuat partai politik kesulitan mengelola organisasi dengan prinsip-prinsip demokrasi dan akhirnya partai dikuasai oleh aktor-aktor yang punya uang, padahal mereka belum tentu punya ideologi ataupun kemampuan.
Konsekuensinya, political integrity berupa moralitas dan kejujuran dari aktor-aktor dalam Parpol menjadi rendah.
Problem berikutnya, partai politik kini dikuasai oligarki atau sebagian kecil orang, sehingga organisasi dianggap sebagai perusahaan sendiri atau milik keluarga. Ini yang membuat rekrutmen kader menjadi bermasalah.
“Kalau kita lihat dari sisi oligarki ekonominya sekarang Partai malah memainkan peran sebagai rent seeker (pemburu rente, red). Kalau dulu di zaman Orde Baru pengusaha yang jadi rent seeker, sekarang malah partai politik yang sibuk main proyek,” katanya.
Lebih jauh Chusnul juga menyoroti soal oligarki sosial, dalam hal ini peran civil society. Dia mempertanyakan bagaimana peran aktivis yang sudah masuk di jajaran elit dan di dekat kekuasaan. Apakah mereka mampu memperjuangkan moralitas demokrasi seperti ketika masih berada di demokrasi jalanan.
Problem partai politik berikutnya adalah dalam hal power struggle democracy. Demokrasi internal partai dinilai bermasalah karena perebutan kepemimpinan di dalam Partai Politik itu juga bermasalah.
Chusnul menekankan, Partai Politik kerap kali tidak bebas dan merdeka dalam menentukan pemimpinnya. Proses demokrasi dalam pengambilan keputusan di dalam partai politik ternyata ada ketergantungan kepada rezim yang berkuasa.
“Kenapa begitu? karena elit politik di Indonesia hari ini saling sandera. Anda tidak mau dukung, nanti anda tidak akan didukung. Anda tidak membantu saya, nanti saya KPK-kan anda,” ujar Chusnul.
Pada kesempatan yang sama, Haryatmoko mengatakan, terdapat tiga hal yang menjadi penghambat demokrasi sehingga berjalan tidak efektif, yaitu kedaualatan rakyat disita DPP, aspirasi rakyat melemah, dan rakyat jauh dari tempat produksi.
Dalam rangka penguatan institusi Partai Politik, dia menyayangkan Isu-isu yang diusung dalam pemilu jarang mengacu ke perbaikan institusi politik dan ekonomi.
“Demokratisasi akan efektif bila partai politik bukan hanya fokus ke Pemilu tapi perdebatan serius tentang masalah rakyat ada partai politik yang serius mengurus masalah itu dan menyelesaikan secara politik,” kata Haryatmoko.
Urgensi Partai Baru
Chandra Tirta Wijaya mengatakan, oligarki dari Partai Politik yang ada sekarang ini saling bertautan sehingga akan berupaya menutup munculnya pemain-pemain baru. Dia memprediksi kemungkinan dinaikkannya ambang batas Parliamentary Threshold (PT) maupun Presidensial Threshold.
Meski demikian peluang bagi terbentuknya partai politik baru tetap memungkinkan. Apalagi partai yang ada sudah tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
“Jadi kalau teman-teman yang ingin membuat partai baru alangkah baiknya bersatu menjadi satu partai saja supaya ada daya tawar dan mampu melewati PT.
Partai yang ada sudah tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat, makanya partai baru dimungkinkan dengan tujuan dan niat yang baik ingin memperbaiki kehidupan perpolitikan berbangsa dan mewujudkan kesejahteraan rakyat,” kata Chandra.
Menanggapi wacana pembentukan partai baru yang disebutkan Chandra Tirta, Ketua Umum DPP Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK) Bursah Zarnubi melihat peluang untuk itu sangat memungkinkan. Dia menyarankan pembuatan partai baru mesti diletakkan di atas dasar cita-cita besar untuk membuat negara lebih baik.
“Saya pikir ada peluang untuk partai politik baru karena berbagai survei mengatakan tingkat kepercayaan ke partai politik yang ada menurun sekali,” kata Bursah.
Dia menegaskan, partai yang benar adalah partai berakar dari rakyat dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Bukan partai yang mengambil suara rakyat kemudian dimanfaatkan untuk kepentingannya oligarki.
Diskusi ini diikuti oleh puluhan peserta yang terdiri dari akademisi, politisi, dan aktivis pemuda dari kelompok Cipayung Plus. (DHJ)